Kelas : 2 KA 30
NPM : 10110071
A. Keterlibatan pihak ketiga
Orang-orang cenderung terlibat secara emosional dalam konflik. Keterlibatan ini dapat menimbulkan beberapa pengaruh, antara lain : persepsi bisa menjadi rusak, munculnya proses pemikiran dan argumentasi yang tidak rasional, pendirian yang tidak beralasan, komunikasi rusak, dan munculnya Pengaruh-pengaruh seperti ini menyebabkan konflik menjadi sulit dipecahkan. Dalam menghadapi situasi seperti ini, peranan pihak ketiga yang netral sangat diperlukan. Pihak ketiga yang netral akan lebih bisa diterima oleh pihak pihak yang terlibat karena mereka lebih menyukai evaluasi pihak lain daripada evaluasi pihak lawan. Semakin berwibawa, berkuasa, dipercaya, dan netral pihak ketiga, semakin besar kemungkinan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menahan emosi.
Peranan yang dimainkan oleh pihak ketiga dapat berwujud berbagai macam bentuk, mulai dari wasit yang mengawasi komunikasi, sampai sebagai penghubung semua pihak, jika komunikasi langsung sulit dilakukan. Peranan penengah pada dasarnya adalah menjaga agar semua pihak berinteraksi dalam cara yang beralasan dan konstruktif. Meskipun demikian, sebagian besar manager biasanya enggan untuk mengundang pihak luar sebagai penengah karena sulit bagi mereka untuk mengakui secara terbuka bahwa mereka terlibat dalam konflik yang sedang terjadi. Jika para manager tetap terlibat dalam penyelesaian konflik, kedudukan mereka lebih sebagai seorang arbiter, yang memutuskan sesuatu setelah mendengar laporan dari pihak-pihak yang terlibat. Namun, dalam kebanyakan konflik, peranan penengah lebih disukai karena semua pihak dibantu untuk mencapai kesepakatan. Adapun arbitrasi lebih menyerupai proses pengadilan yang semua pihak membuat alasan sebaik mungkin untuk mendukung posisi mereka. Hal ini cenderung untuk memperkuat perbedaan, dan bukannya menyatukan perbedaan yang ada.
B. Kemajuan Konflik
Sulit mengatasi konflik jika semua pihak nyang terlibat tidak siap untuk suatu rekonsiliasi. Jika masing-masing pihak merasa bahwa diri mereka yang paling dirugikan, konflik sulit untuk dipecahkan. Oleh karena itu, hal penting yang harus dilakukan adalah membujuk pihak-pihak yang terlibat agar menyadari bahwa mereka sama-sama menderita akibat dari konflik. Pihak-pihak yang terlibat harus dibawa pada “posisi yang sama”, sehingga secara sukarela berpartisipasi dalam penyelesaian konflik.
1. Lima gaya penanganan konflik ( five conflict-handling stylesI) dari Kreitner dan Kinicki
Kreitner dan Kinicki mengadopsi model ini dari M.A. Rahim, dari tulisannya “A Strategy for Managing Konflict in Complex Organization”. Human Relations, Januari 1985, p 84. Oleh karena itu, Kreitner dan Kinicki menyebut model ini sebagai Afzalur Rahim’s Model (Kreitner dan kinicki, 1985: 287). Masalah yang berbeda, yaitu integrating, obliging. Dominating, avoiding, dan compromising.
a. Integrating (problem Solving)
Dalam gaya ini, pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan, dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham (missunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalahnya.
b. Obliging (smoothing)
Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada sendiri. Gaya ini sering pula disebut smoothing (melicinkan) karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekan persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerja sama. Kelemahannya, penyelesaiannya bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.
c. Dominating (forcing)
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Akan tetapi, tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusam oleh mereka yang terlibat.
d. Avoiding
Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfirmasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini cocok untuk menyelesaikan masalah yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Kelemahannya adalah penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalahnya.
e. Compromissing
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give and ache approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi sangat cocok dipergunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak –pihak yang memliki tujuan yang berbeda, tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan yang utama dari kompromi adalah prosesnya yang sangat demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Akan tetapi, penyelesaian konfliknya terkadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreatifitas dalam penyelesaian masalah.
Model-model diatas, sudah tentu hanya merupakan sebagian saja dari banyak model yang dapat dipilih dalam manajemen konflik. Model apapun yang akan dipilih akan bergantung pada beberapa faktor, antara lain : (1) latar belakang terjadinya konflik; (2) kategori pihak-pihak yang terlibat dalam konflik : apakan antar individu, individu dengan kelompok, atau antarkelompok dalam organisasi; (3) kompleksitas masalah yang akan dipecahkan; (4) kompleksitas organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar